Badung, BaliUpdate.id – Pemerintah provinsi Bali, bersama kementerian terkait, mengambil langkah tegas dalam upaya menjaga ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan — dengan menghentikan alih fungsi lahan sawah produktif dan merencanakan pencetakan sawah baru seluas 6.000 hektare. Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, serta disampaikan resmi di Denpasar, Rabu (26/11/2025).
Menurut penjelasan Nusron, target minimal untuk lahan pangan berkelanjutan — yang dikenal sebagai LP2B (Lahan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan) — adalah 87% dari total lahan baku sawah (LBS), sesuai ketentuan dalam peraturan nasional. Namun kondisi saat ini di Bali menunjukkan LP2B hanya mencapai sekitar 62%. Artinya, terdapat kekurangan besar dalam memenuhi standar ketahanan pangan yang diamanatkan.
Untuk menutup kekurangan itu, Nusron meminta agar Pemprov Bali bersama pemerintah kabupaten/kota melakukan inventarisasi lahan dan menyiapkan alokasi lahan baru. Dari target pencetakan sawah baru, sekitar 4.000 ha dialokasikan sebagai pengganti lahan yang sudah dialihfungsikan, dan 2.000 ha tambahan agar mencapai kuota LP2B minimal.
Pada saat yang sama, Gubernur Wayan Koster melaporkan progres kebijakan moratorium alih fungsi lahan kepada Menteri ATR/BPN. Pemprov Bali sedang menyiapkan rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang akan menghentikan perizinan baru untuk konversi lahan produktif menjadi komersial, termasuk hotel, restoran, atau pembangunan properti lain di atas lahan sawah aktif.
Koster menyebut bahwa alih fungsi lahan produktif di Bali telah mencapai angka cukup tinggi — rata-rata 600–700 hektare per tahun — dan jika dibiarkan, akan mengancam kedaulatan pangan serta keberlanjutan sektor pertanian. Ia menegaskan bahwa meskipun Bali adalah destinasi pariwisata utama, pembangunan harus berimbang dengan ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan.
Selanjutnya, Nusron menekankan bahwa apabila pengerahan lahan sawah dialihkan secara ilegal atau tanpa mengganti lahan, maka hal itu melanggar ketentuan LP2B dan bisa dikenakan sanksi pidana — sesuai Undang–Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Oleh karena itu, program cetak sawah baru bukan hanya untuk mengganti lahan hilang, tetapi juga untuk memberi kepastian hukum dan investasi di Bali.
Langkah ini dipandang sebagai reaktualisasi komitmen Bali untuk menjadi daerah dengan ketahanan pangan, di tengah tekanan pembangunan pariwisata, real estat, dan urbanisasi. Jika program berhasil, diharapkan Bali tetap mampu memenuhi kebutuhan pangan lokal, menjaga kesejahteraan petani, dan mempertahankan identitas agraris sebagai bagian dari karakter Pulau Dewata.
Dengan momentum kebijakan baru ini, masyarakat dan pemangku kepentingan di Bali diajak untuk mendukung: menjaga sawah yang ada, menolak alih fungsi lahan seenaknya, dan mendukung pencetakan sawah baru yang berkelanjutan. (Tim)
















